DEPOK — Maraknya kasus kekerasan seksual di sarana transportasi publik menjadi perhatian masyarakat, tak terkecuali mahasiswa Universitas Indonesia. Terlebih, sebagian besar mahasiswa tampaknya masih menjadikan moda transportasi umum sebagai opsi utama.
“Kalau melihat ada kasus kekerasan seksual di transportasi umum, rasanya pengen tegur pelakunya dan ngasih tau korban untuk langsung bicara ke petugas terdekat,” ujar Kholisha Husna Syihab, salah seorang mahasiswa UI.
Meski demikian, tak semua korban mau melapor. Berbagai faktor bisa mempengaruhi korban sehingga urung bersuara terkait tindak asusila yang ia alami. Elemen kesadaran publik disinyalir menjadi salah satu kunci utama dalam hal ini.
“Pengennya sih, setiap individu bisa aware dengan isu-isu kekerasan seksual di transportasi umum,” lanjut Kholisha.
Berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kasus kekerasan seksual di transportasi umum dan fasilitas umum di Kota Jakarta meningkat. P2TP2A mencatat 9.527 kasus sepanjang 2021 hingga Januari 2022. Belakangan, salah satu tempat kasus pelecehan terjadi adalah sarana transportasi umum.
Mendapati fenomena ini, layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di Kampus UI, HopeHelps UI, sudah menyiapkan sejumlah langkah. Wakil Direktur Lokal HopeHelps UI Mega Riahta Siti Aisyah mengatakan, HopeHelps berusaha mendukung korban sebaik mungkin.
Menurut perempuan yang akrab disapa Icha itu, menciptakan ruang aman di transportasi umum juga harus diperjuangkan bersama-sama, termasuk terkait penanganan. Icha menegaskan bahwa diperlukan peran dari berbagai pihak.
Seluruh elemen masyarakat perlu memahami apa itu Bystander Intervention, yakni seorang saksi tindakan kekerasan seksual dapat mengintervensi tindakan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada sejumlah metode yang bisa dilakukan:
1. Distract
“Yang pertama, distract. Kita mendistraksi korban atau pelaku, kita ajak ngobrol agar mengalihkan perhatian korban atau pelaku,” ucap Icha.
2. Delegate
Delegate yang berarti kita sebagai saksi melaporkan tindak kekerasan seksual kepada pihak yang berwenang juga ditekankan oleh Icha.
3. Document
“Terus, document. Di sini kita sebagai saksi mendokumentasikan kejadian atau wajah pelaku, tapi perlu diingat bahwa dalam langkah intervensi ini, kita perlu menanyakan kepada korban mengenai apa yang perlu dilakukan dari hasil dokumentasinya,” tambah Icha.
Dia juga memberikan pesan untuk para saksi bahwa jangan bertindak gegabah dengan hasil dokumentasi. “Jangan secara sepihak saja tanpa adanya persetujuan dari korban,” lanjutnya.
4. Delay
Metode keempat adalah delay. Sesuai dengan namanya, yaitu menunda. Intervensi ini dijalankan ketika pelaku sudah pergi atau dapat menunggu hingga situasi memungkinkan.
5. Direct
“Lalu, yang terakhir ada direct. Kita konfrontasi secara langsung, tapi kita perlu memperhatikan keselamatan saksi, korban, dan orang-orang yang ada di sekitarnya,” Pungkas Icha.
Lebih lanjut, Icha menjelaskan, dalam membantu korban seseorang juga perlu mendapatkan persetujuan dari korban.
“Tidak semua korban mau dibantu, tidak semua korban mau kasusnya dilaporkan, dan tidak semua korban mau pelakunya dicari. Semuanya tergantung consent dari korban, kecuali kalau memang lagi darurat dan berbahaya, baru kita gerak.”
Icha, Wakil Direktur Lokal dari HopeHelps UI, terakhir berpesan, “Semua orang berperan penting, jangan diam, tetap aware, kita perlu berkolaborasi.”
(Kirana Paramesti Putri Widiyanto)