DEPOK–Disiplin verifikasi dalam jurnalisme menjadi hal yang kian penting di tengah derasnya arus dan kecepatan informasi. Hal ini diungkapkan Editor News Standards and Best Practices Voice of America (VOA), Steven Springer dalam kuliah umum di Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Jumat (23/09/2022).
Springer menuturkan, tantangan verifikasi datang dari sumber berita kian beragam. Salah satu yang menjadi perhatian Springer adalah media sosial, “Media sosial memang jadi sumber berita yang bagus tapi bisa juga sangat berbahaya karena orang membuat hoaks dan informasi bohong di sana,” kata dia dalam kuliah umum yang bertajuk “Best Journalism Practices” itu.
Lebih lanjut dia juga menjelaskan bagaimana penerapan disiplin verifikasi bagi sumber media sosial. Saat ini, media sering mengutip perkataan atau informasi dari sebuah akun pribadi di media sosial. Idealnya, media harus mengontak pemilik akun terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut.
Sayangnya, menurut Springer, praktek verifikasi ini kadang diabaikan karena tuntutan kecepatan. Media berlomba-lomba jadi yang pertama memberitakan sehingga membuat pemberitaan lolos dari proses verifikasi. Padahal, kata Springer, informasi yang salah dapat merugikan masyarakat.
Oleh sebab itu dia menekankan, media harus lebih sabar dan menghabiskan waktu lebih banyak dalam verifikasi. “Lebih baik menjadi yang kedua tapi benar, daripada yang pertama dan salah,” kata Springer.
Proses verifikasi tidak hanya dilakukan media, tetapi juga masyarakat. Springer menambahkan, masyarakat dianjurkan membaca sumber lain yang barangkali memiliki sudut pandang berbeda. Langkah ini adalah salah satu strategi verifikasi bagi khalayak.
“Pembaca memang harus memutuskan mana yang benar ketika membaca kedua sisinya, tapi setidaknya dia sudah mendapatkan gambaran lengkap tentang cerita itu,” tutur Springer.
Gaji Jurnalis
Selain bahasan tentang verifikasi, dalam kuliah umum tersebut Springer juga dimintai tanggapan tentang beragam hal terkait praktik jurnalistik oleh para mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UI, salah satunya tentang gaji jurnalis. Menurut dia, besaran gaji ditentukan oleh sejumlah faktor.
“Ketika Anda berkata, apa itu uang yang baik? Apakah 5 digit, apakah 50 ribu dolar, 75 ribu dolar, 125 dolar, atau 200 ribu dolar? Itu semua tergantung pada berapa lama Anda bekerja, apa pekerjaan Anda, dan untuk siapa Anda bekerja,” kata Springer.
Dia mengungkapkan, pada awal kariernya sebagai jurnalis 40 tahun lalu, dirinya hampir tak menghasilkan apapun secara finansial. Pada pertengahan kariernya pun, dia mengaku pernah mengalami pemotongan gaji yang besar.
Namun, seiring bertambahnya pengalaman seorang jurnalis, penghasilan yang didapat juga kian baik. “Bisa digaji dengan (nominal) baik, tetapi jangan berharap dibayar dengan baik di awal (karier sebagai jurnalis),” tutur Springer.
Adapun dalam konteks di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 2021 mengajukan salah satu usulan terkait upah layak jurnalis, yakni sebesar Rp8.366.220 per bulan.
Di sisi lain Steven menegaskan, terlepas dari soal penghasilan, jurnalis memiliki tugas dan peran yang krusial bagi publik. Tugas paling utama jurnalis adalah pelayanan publik melalui informasi yang akurat dan berimbang.
Hal senada diungkapkan Direktur VOA Asia Timur dan Pasifik, Nadia Madjid. Ia berpendapat jurnalis harus memenuhi tanggung jawab dan panggilan nuraninya untuk memberdayakan masyarakat dengan informasi. “Karena kalau pun digaji sejuta dolar, kapan sih (merasa) cukupnya?” kata Nadia.
(Anggi Ropininta & Jelita Murni)