DEPOK — Meski menyandang nama “Indonesia,” tampaknya proporsi mahasiswa di Universitas Indonesia masih didominasi sejumlah daerah saja. Setidak-tidaknya, hal inilah yang tergambar di Program Studi Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Data Departemen Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI (Adkesma HMIK UI) menunjukkan, dari 10 mahasiswa Ilmu Komunikasi, hanya ada 2 orang mahasiswa yang berasal dari luar Jabodetabek. Status ‘minoritas’ ini pula yang tampaknya membuat mahasiswa dari luar Jabodetabek, atau lumrah disebut sebagai ‘mahasiswa daerah,’ menghadapi tantangan tersendiri untuk beradaptasi.
Muhammad Anna Aulia, misalnya. Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2019 yang sering disapa Aul ini berasal dari Aceh. Ia harus berhadapan dengan kultur yang sangat berbeda dengan kampung halamannya.
“Gue semester 1 itu sulit banget buat nerima salaman dari lawan jenis. Terkesan lebay, tapi butuh proses sampai akhirnya gue bisa menerima budaya tersebut di semester-semester akhir,” tutur Aul saat dihubungi, Minggu (6/11/2022).
Meskipun terdengar cukup fasih menggunakan lo gue dalam wawancara, Aul mengakui perbedaan bahasa tersebut menjadi hambatan pertama saat dia memasuki Ilmu Komunikasi UI.
Ternyata, kesulitan adaptasi ini tak hanya dialami oleh mahasiswa dari luar Pulau jawa layaknya Aul. Dewi Chandra Kirana, yang kini menjadi salah satu pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, pun merasakan hal serupa. Padahal, Kicky, begitu ia akrab disapa, berasal dari Bogor yang notabene menjadi bagian dari Jabodetabek.
“Saya kan berasal dari luar Jakarta ya, bung. Bogor. Walaupun hanya jarak 1 jam ke Jakarta, tetap menjadi momok. Saya diledekin ‘Bogor’, ‘anak kereta,’ dan sebagainya,” ungkap Kicky seraya mengenang pengalamannya.
Pada akhirnya, perlakuan awal tersebut menjadikan Kicky cukup berhati-hati ketika masuk ke lingkungan sosial Ilmu Komunikasi UI. Dia menambahkan, label anak daerah adalah paket lengkap. Ketika diberi label anak daerah artinya, si mahasiswa sudah dilabeli dengan citra ‘tidak gau’, baik dari segi kebiasaan maupun bahasa yang digunakan. Boleh jadi sebab itulah, para anak daerah ini seringkali merasa sulit menyatu dengan anak Jakarta.
Peran Himpunan, Jurusan, dan Paguyuban
Dalam masa adaptasi, peran himpunan jurusan dinilai penting, termasuk terkait perbedaan antara anak daerah dan anak Jakarta. Aul sendiri mengiyakan bahwa terdapat beberapa program HMIK UI membuat dia kenal dengan anak Ilmu Komunikasi UI lainnya.
Kicky bahkan merasakan manfaat yang luar biasa ketika beliau mengikuti Sarasehan (yang saat ini menjadi O’Weeks Komunikasi UI). Kegiatan orientasi tersebut sangat membantunya ketika menjadi mahasiswa baru Ilmu Komunikasi 1990. Mentor dalam rangkaian kegiatan tersebut dianggap sebagai perpanjangan tangan yang memudahkan proses adaptasi di Ilmu Komunikasi UI.
Di sisi lain, Prodi Sarjana menyadari tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa daerah. Ardhanareswari Handoko, Sekretaris Prodi Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi mengatakan, gegar budaya, misalnya dalam aspek bahasa memang seringkali dialami mahasiswa daerah. Meski demikian, saat ini Prodi memang tidak memiliki program khusus untuk anak daerah seperti.
Dia menambahkan, selain himpunan, peran paguyuban daerah juga besar dalam membantu proses transisi mahasiswa. “Peran terbesar adalah paguyuban yang memiliki perasaan yang sama sebagai mahasiswa di perantauan,” ungkapnya.
Aul sebagai mahasiswa yang cukup berjuang di tahun awalnya juga mengatakan meskipun tidak diperlukan perlakuan khusus, Aul tetap berharap bahwa mahasiswa Ilmu Komunikasi menyadari keragaman daerah ini. Penghargaan terhadap kultur mahasiswa tersebut menurut Aul lebih membuat anak daerah tidak merasa asing di Ilmu Komunikasi UI.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Kicky. “Mahasiswa Ilmu Komunikasi cukup sulit untuk melebur. Perbedaan atas asal daerah tersebut memang nyata dan dibutuhkan keterbukaan atas kedua pihak agar bisa tetap lancar berinteraksi. Baik dari mahasiswa daerah maupun mahasiswa Jakarta,” ungkap Kicky menutup wawancara.
(Fikri Al Ghani)